Senin, 08 November 2010

TAWURAN


Beberapa tahun belakangan ini, di Indonesia sedang maraknya perkelahian masal. Baik warga masyarakat, para kaum intelektual, bahkan anggota dewan yang terhormatpun kerap kali mempertontonkan hal-hal yang sangat tidak mendidik . Penyebabnya pun beragam, dari masalah yang sepele,hingga yang besar. Bahkan sampai di era yang boleh dibilang maju ini, perkelahian massal sudah sangat mendarah daging. Sehingga bisa di bilang perkelahian masal di negeri kita ini sudah menjadi tradisi. 

Kita angkat dari kasus yang belum lama terjadi, beberapa minggu yang lalu terjadi perkelahian masal antara supporter kesebelasan sepak bola PERSITA tangerang. Yang melibatkan supporter tersebut dengan warga di sekitar jalan pulang yang dilalui supporter PERSITA . penyebabnya pun sepele, hanya karna saling ejek dan tidak puasnya suporter tersebut atas hasil yang diraih tim kesayangannya. Perkelahian ini pun berhasil merusak fasilitas umum. Ini membuktikan bahwa hal yang sepele bias membawa dampak yang sangat merusak bagi lingkungan tempat terjadinya perkelahian tersebut.
Contoh lain lagi, beberapa bulan yang lalu, terjadi sebuah tontonan yang sangat memalukan di gedung dewan kita yang terhormat. Pada saat pengambilan keputusan hak angket kasus Bank Century. Ketua DPR yang terhormat memukulkan palu tanda berakhirnya sidang secara sepihak, sedangkan sidang tersebut belum berakhir dan memutuskan hasil apapun. Kontan saja kejadian tersebut membuat marah para anggota dewan yang lainnya. Sehingga beberapa anggota dewan yang terhormat yang marah tersebut maju ke depan meja ketua dewan dan mencaci sang ketua, adapula anggota dewan yang melayangkan tinjunya ke arah sang ketua. Ini membuktikan bahwa moral anggota dewan yang terhormat yang merasa dirinya berpendidikanpun tidak bisa mengontrol emosinya.
Beberapa kejadian di atas menggambarkan betapa bobroknya mental para pelaku perkelahian tersebut. Hal yang seharusnya tidak perlu terjadi dalam kehidupan bermasyarakat kita yang menjunjung rasa nasionalisme dan kekeluargaan ini. Padahal semenjak seseorang dikenalkan pada sebuah institusi pendidikan, dikenalkan juga pendidikan yang berbasis kekeluargaan dan tenggang rasa. Kemana bangsa Indonesia yang ramah dan tenggang rasa??. Kemanakah bangsa Indonesia yang saling menghargai??. Apakah itu semua hanya tinggal cerita dan masa lalu??. Di sinilah peran para kaum intelektual seperti kita ini mulai membangun kembali tatanan kehidupan Indonesia yang ramah dan penuh tenggang rasa antar sesama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar